Kuliah di LN Itu Nggak Enak

Jujur, bagiku kuliah di Luar Negeri (LN) itu ga enak.

Aku harus beradaptasi dengan banyak hal. Dari mulai bahasa, budaya, dan sistem pendidikan yang sama sekali berbeda. Belum lagi perasaan homesick yang makin bikin galau.

Dari segi bahasa, butuh bagiku kurang lebih tiga bulan untuk mulai terbiasa dengan bahasa inggris para native speakers. Gimana coba caranya bisa menyerap pelajaran dengan baik, efektif dan efisien kalau bahasa aja masih terkendala. Aku harus berfikir double untuk bisa memahami pelajaran. Pertama, memahami bahasanya dulu, kedua baru memahami konten dari materi perkuliahan.

Yang kedua, budaya. Aku harus beradaptasi sebagai muslim minoritas yang harus pinter-pinter cari waktu untuk bisa sholat di tengah berbagai kesibukan. Kalau sudah dapat waktu, belum tentu dapat tempat yang layak untuk sholat. Aku juga harus adaptasi dengan budaya orang-orang barat yang menormalkan ganja, seks bebas, aborsi, alkohol, sehingga rasanya seperti outsider atau orang asing banget di tengah-tengah lingkungan sosial yang jauh berbeda dengan lingkungan sosial di tempat asalku.

Terakhir, yang menurutku paling sulit, adaptasi dengan sistem pendidikan. Aku yang dulu jarang banget merasa insecure, disini jadi sering merasa nggak pede. Ketika teman-temanku sudah terbiasa dengan ujian esai tanpa plagiarisme, terbiasa menganalisa isu dan menawarkan solusi, terbiasa beropini secara merdeka, terbiasa berpikir kritis, terbiasa membaca, aku baru saja memulai belajar untuk bisa melakukan itu semua dengan baik. Nggak jarang aku merasa ragu apakah aku layak ada disini, aku merasa jauh tertinggal. 

Memang aku jadi bisa jalan-jalan, tapi akhirnya jalan-jalan itu jadi bentuk refreshing dari kegiatan kuliah yang seringkali bikin pusing. Itu jadi semacam pelarian sementara sebelum nanti menghadapi realita yang lebih pahit.

Ketika dulu aku mendengar orang berkata belajar ke luar negeri artinya keluar dari zona nyaman, ini yang benar-benar sedang aku rasakan. Kenapa ya aku harus kesini? Kenapa ya aku nggak di rumah aja? Kenapa ya nggak di Indonesia aja yang nyaman bahasa dan budayanya? Kuliah disini sulit lho, jauh lagi dari keluarga. Sedihnya dobel-dobel. 

Tapi kemudian aku sadar, ini nggak berlangsung selamanya. Beberapa bulan lagi aku akan pulang. Dan ketika pulang, aku akan kembali sebagai seseorang yang jauh lebih kuat, lebih tangguh, lebih tahan banting, lebih mandiri, lebih berwawasan, lebih mumpuni bahasa inggrisnya, dan lebih luas cara pandang dan fikirnya. Bahkan mungkin menjadi orang yang lebih solutif juga untuk berbagai permasalahan di negaraku. Saat aku mulai mengeluh tentang kesulitan-kesulitan disini, orang-orang terus berkata bahwa aku harus bersyukur. Ya betul, aku harus bersyukur. Bukan hanya bersyukur karena mendapat kesempatan kuliah di luar negeri, tapi juga bersyukur karena diberi kesempatan untuk menempa diri dan bertumbuh melalui kesulitan-kesulitan ini.

Jadi buat temen-temen yang punya impian kuliah di luar negeri, masih tertarik?


Ujian presentasi akademik poster "Insecticide-treated bednets distribution policy to prevent malaria"

Esai 2500 kata "The use of scientific evidence in COVID-19 health policy"

Diskusi kelompok: Evaluate and present health inequality during covid-19 using real data of covid-19 in London



 

Komentar

  1. Sangat menginspirasi sekali mba nana, kalau boleh bertanya mba nana kuliah S1 jurusannya apa?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer