Kronologi Ninggal Dua Bayi ke Inggris
Aku lagi pengen cerita nih pengalaman kronologiku bisa kuliah ke luar negeri padahal punya dua bayi di rumah. Dulu bagiku, itu juga mustahil. Tapi memang nyatanya nggak ada yang mustahil kalau Allah udah ridlo.
Tahun 2018, ketika aku ijin ke calon suami bahwa aku mau kuliah S2 di luar negeri, beliau mengizinkan aku untuk kuliah S2 nanti setelah menikah. Itu jadi kunci pertama. Ridlo suami. Dua bulan setelah menikah, ternyata saya hamil anak pertama. Akhirnya saya urungkan niat untuk mendaftar beasiswa LPDP tahun itu dan baru mendaftar setelah anak pertama usia kurang lebih empat bulan. Rencananya saat itu suami dan anak akan ikut ke luar negeri kalau memang diterima. Atau opsi kedua, aku dari awal memang sengaja apply untuk perkuliahan 2021, nunggu anak usia dua tahun. Artinya saat itu anak sudah lepas ASI dan sudah lebih besar untuk dititipkan ke mbahnya sementara waktu. Namunnnnnn…jeng jeng jeng! Setelah pengumuman lolos beasiswa, nggak lama setelah itu saya baru sadar kalau saya sedang hamil anak kedua. Rasanya impian seperti diambang kehancuran saat itu. Saya nangis, bingung harus sedih atau bahagia dengan kehamilan kedua ini. Setelah diskusi dengan suami dan keluarga besar, saya nggak jadi resign dari LPDP dan tetap menjalankan kewajiban sebagai awardee LPDP. Saat itu ada kewajiban menyelesaikan Pengayaan Bahasa (PB) dan Persiapan Keberangkatan (PK). Di tengah-tengah kegiatan yang cukup padat, ditambah hamil muda, dan harus menyapih dini anak pertama, emosi dan fisik saya nggak karuan. Akhirnya anak pertama dibawa sama mbahnya ke Brebes agar proses menyapih lebih mudah dan saya punya waktu untuk istirahat. Itulah pertama kali saya merasakan jauh dari anak pertama. Usianya 8 bulan saat itu. Hampir tiap malam saya nangisin dia. Tapi saya nggak punya pilihan lain. Semua pilihan yang tersedia sama besar risikonya. Semenjak saat itu, beberapa kali anak pertama saya bolak balik ke orang tuanya atau ke mbahnya. Kalau saya sedang punya asisten RT, anak pertama kembali ikut saya. Saat saya pasca melahirkan dan sedang repot-repotnya, anak pertama kembali ke mbahnya. Saat kondisi memungkinkan, saya asuh sendiri lagi anak pertama. Saat tiba-tiba dua anak sakit bersamaan, salah satu akhirnya dibawa ke mbahnya lagi untuk dirawat mbahnya. Begitulah akhirnya saya jadi sedikit terbiasa jauh dari anak pertama saya. Dan anak pertama pun jadi terbiasa nginep di “villa” mbahnya. Nggak pernah lagi nangis nyariin saya kalau lagi main ke “villa”.
Sedangkan anak kedua, saya nggak pernah jauh dari dia semenjak dia lahir. Tapi takdir Allah, anak kedua saya sangattttt mudah diasuh. Dia nurut digendong siapapun. Dia sama sekali nggak rewel saat saya sapih karena saya sudah mau berangkat ke Inggris. Auto pindah ke sufor aja gitu. Nggak pake drama. Dia juga nggak nyariin saya ketika saya isoman di kamar karena jadi satu-satunya orang di rumah yang positif covid saat itu. Makannya gampang sampai BB nya subur, imun tubuhnya kuat sampai jarang sakit, tidur malam teratur, dan semua kemudahan pengasuhan yang kudambakan saat mengasuh bayi. Saat saya akhirnya harus berpisah sementara dengan dia karena harus kuliah keluar negeri, saya sama sekali nggak khawatir karena saya yakin dia akan selalu baik-baik saja. Sepertinya dia juga akan lupa sama saya kalau nggak saya video call setiap hari.
Intinya, perjalanan saya sampai bisa meninggalkan dua bayi di rumah bukan perjalanan yang ujug2. Ada banyak hikmah. Hamil kedua yang saya pikir akan jadi penghalang kuliah, justru jadi jalan saya untuk terbiasa jauh dari anak pertama. Suami juga jadi lebih tenang, karena toh mau minta apalagi sama saya?? Udah tak kasih dua lho, paket lengkap pula cowo cewe. Dan saya yakin saya nggak akan ada di titik ini kalau Allah nggak ridlo dengan mimpi saya. Saya sempat pasrah, ya Allah kalau memang bukan jalanku juga nggak apa2, yang penting saya tetap ikhtiar dulu. Dan ternyata lolos beasiswa, dan ternyata kampusnya mau menerima, dan ternyata orang tua dan mertua saya rebutan pengen ngasuh anak2 saya, dan ternyata ternyata lainnya. Akhirnya saya pun berangkat, tentunya dengan emosi yang lebih kuat karena suami ridlo, anak-anak pun juga sudah siap.
Finally, saya yakin setiap orang akan punya jalan dan ceritanya masing-masing. Mungkin cerita saya cukup unik karena nggak banyak, atau bahkan belum ada?? Namun semua mimpi datang dengan tantangannya masing2. Lantas sekarang tinggal apakah kamu mau bermimpi dan berusaha mewujudkannya? Selebihnya, biarkan alam yang mengatur.
Komentar
Posting Komentar