Pengalaman kuliah di luar negeri

Aku lulus kuliah S1 dengan IPK tidak cumlaude. Ngepas aja gitu nilainya. Aku sempat merasa sebagai mahasiswa yang B aja dan bukan masuk golongan mahasiswa pintar. Tapi aku tahu bahwa aku memang kurang cocok dengan sistem pendidikan yang kujalani saat itu. Alhasil, ketika nilaiku C, aku tidak terlalu berambisi untuk mengubahnya jadi A, dan juga tidak berambisi untuk dapat IPK cumlaude. Aku tahu bahwa nilai itu penting, tapi itu bukan segalanya. Experience dan kemampuan berfikir kritis jadi yang lebih aku kejar saat itu. Meski belum tau pasti gimana caranya, karena emang nggak punya mentor haha, tapi semua kesempatan yang aku suka dan yakin akan bisa membangun skillku, aku hajar aja. Dari mulai daftar Model United Nation (MUN) dan student exchange programs, yang berujung gagal sana sini, sampai lebih milih kabur ke Pare buat belajar bahasa Inggris dibanding ikut kelas perbaikan nilai.

Kuliah di LN sudah jadi mimpiku sejak SMA. Awal inspirasinya datang dari senior yang pernah ikut student exchange program hingga bisa jalan2 ke Jepang gratis. Ketika akhirnya bisa mengikuti jejak beliau, pulang dari Jepang senior bilang kalau pulang dari Jepang harusnya bukanlah akhir dari perjalanan. Justru itu adalah awal dari berbagai pengalaman hidup lainnya di masa depan. Di usia 17 tahun, perjalanan sepuluh hari ke Jepang sangat sangat sangat memberiku banyak pengalaman hidup. Dari mulai pengalaman menjadi minoritas hingga kesadaran bahwa kemampuan bahasa internasionalku masih poor banget. Dari situlah ambisi untuk melanjutkan perjalanan ke LN dimulai. Alhamdulillah, beasiswa LPDP dan kampus UCL jadi rezeki dari Allah untuk melanjutkan perjalanan tsb. 

Singkat cerita, kuliah S2 di Inggris, negara dengan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, bikin aku sadar bahwa…. Aku bukan mahasiswa yang B aja. Hahahaha. Di kelas jarang sekali muncul perasaan berkompetisi dengan mahasiswa lainnya. Sebaliknya, aku merasa bahwa aku sedang berkompetisi dengan diriku sendiri sesuai dengan passion atau minatku. Setiap hari adalah struggle untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Apalagi dengan kemampuan language dan academic writing yang bisa dibilang less than those who had already pursued their study in developed country. Akhirnya, semangat dan juga stress untuk mengejar ketertinggalan itu jadi semakin besar biar bisa menyesuaikan diri dengan standar pendidikan disana.

Selain lebih fokus pada kolaborasi dibandingkan kompetisi, kemampuan berfikir kritis dan sistematis juga jadi aspek yang sangat ditekankan disana. Ujian kami kebanyakan berbentuk esai atau writing assignment. Cukup satu pertanyaan, lalu kami diizinkan untuk menjawab sesuai pendapat kami. Tidak ada jawaban benar dan salah. Sebaliknya, penilaian berdasarkan kemampuan kami berargumen untuk meyakinkan penguji bahwa pendapat kita layak diperhitungkan. Contoh, kami pernah dapat pertanyaan untuk esai individu sbb: 

“Apakah kamu setuju atau tidak, bahwa globalisasi itu baik bagi kesehatan secara global?”

Tentu saja, jawaban yang setuju belum tentu lebih baik dari jawaban yang tidak setuju, atau sebaliknya. Kemampuan untuk menjelaskan kenapa kok setuju dan kenapa kok tidak secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, itulah yang mempengaruhi nilai. Seru nggak sih? Hahaha. Nggak mungkin nyontek atau curang kan kalau begitu?

Oiya, basic rules yang diajarkan saat orientasi atau awal perkuliahan adalah untuk menghindari plagiarisme dan kritis dalam membaca jurnal atau artikel ilmiah agar bisa menghindari bias. Hal basic kayak gini justru yang sering terlewat diajarkan di Indonesia ya. Orang lebih fokus dididik agar menjadi pintar, dapat nilai bagus, dan unggul, tapi lupa diajarkan bagaimana caranya menjadi jujur pada diri sendiri dan percaya diri pada kemampuan diri.

Finally, meskipun jalannya tidak mudah, pengalaman belajar di LN jadi pengalaman yang sangat berharga buatku. Aku sama pak suami sampai sempat disuksi pengen cari sekolah buat anak-anak yang nggak pakai sistem ranking. Agak miris liat story IG temen yang cerita kalau anaknya kelas satu SD, di bulan Agustus, sekitar dua bulan pasca perdana masuk SD, udah disuruh remidi karena nilainya dibawah rata2 kelas. Antara pengen marah dan ngakak hahaha. 

Tapi…ada tapinya nih. Meskipun sistem pendidikan di Inggris uda sangat well-developed, kesehatan mental disana bisa dibilang low ya. Kenapa? Karena aku merasakan orang2 disana memang individualis banget, termasuk student2nya Lol. Cukup sulit untuk dapet teman. Meskipun kita satu kelompok tugas, misalnya. Pulang dari diskusi kelompok, ya sendiri-sendiri aja gitu udah. Tapi kayaknya itu nggak berlaku untuk mahasiswa S1 (karena mungkin blm terlalu banyak beban hidup ye, ga kayak mahasiswa S2), dan buat mereka yang enjoy ke pub bareng2. Fyi, pergi ke pub di Inggris itu part of culture ya. Dengan pergi ke pub, orang2 bisa jadi a bit tipsy dan bisa jadi lebih friendly to each other. But again, this is based on my personal experience in London. Bisa jadi berbeda di kota lain di Inggris.

Pada intinya, tidak ada mahasiswa yang B aja. Semua student itu unik dan punya kapasitasnya masing-masing. Tidak perlu melihat student lain yang belum tentu sama kapasitas dan minatnya dengan kita. Fokus saja pada diri sendiri. Lihat apa yang kita suka, kita minat, kita tau kita akan mampu untuk berkembang disitu, lalu fokuskan diri pada hal tsb. Niscaya, tidak ada mahasiswa yang B aja. Yang ada hanya perbedaan mahasiswa rajin dan malas. Hahaha.


Abaikan patung telanjang di belakang

Pakai Kebaya tapi pecicilan, biarin

With one of my closest international friend

Komentar

Postingan Populer