Culture Shock di Inggris : After A Month
Sudah satu bulan semenjak saya menginjakkan kaki pertama kali di Inggris. Sebuah negara maju, dengan pendapatan per kapita mencapai USD 40.000 tentu saja budaya dan kultur masyarakatnya jauh berbeda dengan di Indonesia. Dari pengamatan saya pribadi selama satu bulan, ini beberapa hal yang quite shocking for me personally.
1. Jika di Indonesia kita masih berkutat tentang hak-hak perempuan, hak-hak kaum marjinal, berperang melawan kekerasan pada perempuan, disini perempuan sudah sangat merdeka. Jangankan kok bahas presentase keterlibatan perempuan di parlemen atau legislatif, catcalling di jalanan saja udah nggak ada! At least selama satu bulan saya disini, mau jalan kaki malam hari, jalan kaki ngelewatin bar atau pub, jalan kaki di tempat yang cukup kumuh, ngelewatin gerombolan orang-orang punk, orang lagi minum-minum, nggak pernah sekalipun merasakan di catcall. Jangankan kok saya yang pake jilbab, yang pake mini2 juga merasa safe dan nggak pernah saya lihat mereka di siul2 orang aneh bin nggak jelas bin jahanam. So yeah, bisa dibilang kesetaraan gender disini sudah tercapai. Beberapa kali saya dengar mereka membahas tentang betapa buruknya masa lalu ketika wanita selalu dijadikan kambing hitam. Contohnya ketika terjadi outbreak sexual transmitted infection (STI) di London sekitar tahun 1800-an. Wilayah prostitusi beserta para wanita pekerja seks (WPS) nya dijadikan objek blaming, while men, as always, were in safe position. Itu hanya satu contoh tentang betapa mereka menyesali masa lalu yang seringkali menyudutkan perempuan atas hal-hal yang sesungguhnya bukan hanya salah perempuan saja.
Tapi, ada satu hal lucu yang baru saya sadari setelah ada disini. Setelah mungkin berhasil berjuang mencapai kesetaraan gender, now they move to another agenda. Jelas dong, Namanya juga manusia, nggak pernah puas dengan pencapaiannya. Sekarang, mereka tengah menyuarakan isu kesetaraan gender lagi. Lah? Apalagi yang mau diperjuangkan? Yap, gender menurut mereka bukan lagi hanya tentang laki-laki dan perempuan. It is more than that. Saya sempat hampir memilih matkul Gender and Health Equality. Karena menurut saya menarik nih, bahas how women can achieve health quality. Tapi setelah mengikuti satu materi yang bahas topik tersebut, saya buru-buru pindah pilihan matkul karena ternyata gender di perspektif saya beda dengan milik mereka hahaha. Ya saya baru sadar saya ada di negara barat, negara maju, jadi ketika saya belajar, perspektif yang mereka gunakan adalah perspektif barat dan perspektif high income country. Jelas bukan perspektif bocah Indonesia yang aji mumpung dapet beasiswa kesini. LOL. Saya juga baru menyadari bahwa kampus saya adalah salah satu yang terdepan dalam menyuarakan ‘kesetaraan gender’. Salah satu upayanya terlihat dari toilet yang tidak lagi membedakan perempuan dan laki-laki. Yes, it is genderless. Saya tadinya nggak terlalu paham dengan yang disampaikan oleh ibu dosen, bahwa gender adalah sesuatu yang terbentuk dari social construct. Gender itu beda dengan sex (jenis kelamin). Sex secara anatomi memang terdiri dari male dan female. Tapi gender ini adalah sesuatu yang kemudian dipahami oleh masing-masing individu seiring dia berkembang dan bertumbuh. Setelah saya diskusi dengan teman sesama Indonesia yang satu jurusan, saya baru paham bahwa mereka sedang mengarah ke society yang tidak lagi peduli apa gendermu. Cause you can be anything you want. Cowok jadi cewek lalu naksir cowok? Atau cowok jadi cewek tapi naksir cewek? Atau cewek jadi cewek naksir cewek? Mbuh lah ruwet. Intinya gitu. Kalau kata teman saya, Rabikah, lama-lama manusia malah jadi kayak alien. Nggak punya jenis kelamin.
Kamar mandi untuk all sex di kampus
Nah itu salah satu culture shock saya disini. Setelah memahami konsep ‘kesetaraan gender’ disini saya jadi makin peka, disini memang banyak orang yang saya nggak bisa mengkategorikan, apakah dia cewek atau cowok. Huhuhu pusing. Nah kalau di Indonesia gimana? Sama halnya dengan perkembangan ekonomi dan politik yang masih jauh tertinggal dengan negara Inggris, kesetaraan gender di Indonesia menurut saya juga masih jauh tertinggal. Entah ini jadi kabar baik atau kabar buruk, jalan kita masih panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender versi ‘kita’ sehingga untuk mencapai kesetaraan gender versi ‘mereka’ pun jalannya masih jauh jauh jauh lebih panjang lagi sepertinya. ((nangis sambal ngekek)).
2. Culture shock kedua adalah, disini orang-orangnya outspoken banget. Di kelas, mahasiswa aktif bertanya, berdiskusi, beropini, entah yang diomongin itu bermutu atau nggak, sesuai konteks atau nggak, pokoknya hajar! Sebagai mahasiswa asal Indonesia yang most of the time menerima pembelajaran pasif atau satu arah, this is quite surprising me. Bapak ibu dosen yang cukup dipanggil namanya aja disini, nggak perlu selalu pakai pak, bu, prof, dst, selalu mengajak mahasiswa untuk actively engaged. Mereka juga terbuka dengan segala macam kritik dan masukan. Meskipun mungkin kritik yang masuk itu kritikan non sense dari mahasiswa idealis vs dosen yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia profesional, tapi mereka bisa menanggapi dengan baik. Nggak baper. Dari pengalaman tersebut, dan observasi sehari-hari, saya merasakan bahwa disini, orang-orang sangat individualis dan sangat nggak peduli pendapat orang lain tentang mereka. Sebaliknya, orang lain pun nggak merasa perlu repot-repot mikirin orang lain. Paham kan ya maksudnya? Gimana sih jelasinnya. Kalau ada yang bertanya, do i have neighbours? Yes I have. Tapi kalau papasan sekedar nyapa hai atau how are you aja. Nggak sampai berhenti berjam-jam untuk ngobrol ngalor ngidul bahas tetangga yang lain. Wkwkwk. Beberapa kali saya harus menahan malu karena mencoba berkutat dengan teknologi publik yang baru saya temui disini. Seperti self check-out cashier, tap kartu di transpotasi umum, dll. Tapi ternyata nggak perlu malu guys, because nobody care! Kalau saya nggak manggil mereka, minta bantuan, mereka nggak akan repot2 berhenti untuk nonton saya yang masih gaptek ini. Yap, cukup melegakan sebetulnya.
Diverse people in TFL
3. Yang ketiga, people are soooooooo diverse here. ada yang kulit hitam, putih, cokelat, rambut kribo, kepang, blonde, berjilbab, rambut dicet warna warni, mohawk, baju mini, bercadar, punk, anime, semuanya melebur disini. Kalau di Indonesia, mungkin karena orang-orangnya cenderung homogen, kalau ada yang beda dikit aja langsung jadi pusat perhatian. Dan rasanya nggak enak banget jadi pusat perhatian seperti itu. Akhirnya, mumpung disini nggak ada yang peduli sama penampilan orang lain, aku auto beli sepatu boots yang haknya tinggi, jaket2 winter, baju dan syal yang lucu2, sesekali pake makeup agak tebel, hahaha. Karena... it is for my own pleasure.
Komentar
Posting Komentar