Hellooo!
Apa
kabar? Lama tak menulis rasanya jadi canggung lagi. Well, tiba-tiba aja mood
saya untuk menulis muncul lagi. Walaupun nggak tahu mau nulis tentang apa. Dari
post terakhir saya, sampai post yang ini, ada banyak banget hal yang terjadi di
dalam hidup saya selama beberapa bulan ini. first, mungkin saya mau cerita
tentang workcamp dulu kali yaaa
Bulan
September 2012, secara nggak sengaja dan agak sedikit terpaksa, saya harus ikut
international workcamp nya IIWC (Indonesia International WorkCamp) karena urusan
tugas. Kayaknya keren yah? International workcamp? Tapi jangan bayangin saya
ikut camp yang di luar negri bersama bule-bule. Malahan saya ikut camp lokal di
daerah ungaran sono yang nama desanya Tegalrejo. Bareng bule-bule sih...tapi
bule Jepang. (why Japanese again?). dan yang buat saya agak sedikit shock
adalah bahwa desa yang akan saya tempati adalah desa tempat lokalisasi. Dimana
begitu kita turun dari angkot yang membawa rombongan camp, yang terlihat adalah
coretan-coretan di sepanjang dinding pembatas kampung dengan jalan raya yang
penuh dengan tulisan slogan untuk pemakaian kondom.
Sebelum
ikut workcamp saya udah sempet baca sekilas sih background dari desa yang akan
saya tempati. Disitu dijelasin kalo most of the society are sex workers. Tapi
saya bener-bener nggak bayangin kalo itu adalah tempat lokalisasi...lugunya.
Oke
shock yang pertama belum mulai pudar nih, tiba-tiba saya dikagetkan lagi dengan
kondisi rumah yang akan kami tempati selama dua minggu dengan 14 orang di
dalamnya. Untuk mencapai rumah itu, kami harus melewati suatu gang kecil yang
beralas tanah dan becek dengan jejeran rumah ala kadarnya dari papan yang berukuran...mungkin
hanya 2,5x kamar kos saya dan disitu baunya...ehm, pesing. Hingga akhirnya di
ujung gang yang buntu itulah ada sekotak rumah yang untungnya menggunakan batu
bata dan semen sebagai dinding dan memiliki dua lantai. Waktu itu saya sempet
nggak yakin apakah sanggup hidup selama 14 hari ke depan dengan kondisi seperti
ini. hoho honestly saya belum pernah punya pengalaman workcamp sama sekali dan
nggak punya bayangan sama sekali tentang kegiatan ini.
Well,
that was my first impression about this workcamp ladies and gentleman.
Di
hari-hari awal, kegiatan kami adalah berkenalan dan saling mengakrabkan satu
sama lain, kemudian membagi jadwal piket bersih-bersih, memasak, mengobrol,
tidur...dll. lumayanlah, saya mulai bisa beradaptasi. tapi ada satu hal yang
membuat saya kembali merasa kurang nyaman dengan camp ini. selalu saja ada
segerombolan anak-anak liar, mm..sebenarnya nggak liar sih tapi orang tua
mereka sebagian besar adalah sex workers dan mereka kurang keurus gitu. Bahkan
ada beberapa yang nggak tahu siapa bapak mereka L. So sad actually, tapi saya
benar-benar nggak habis pikir dengan kelakuan mereka. Mereka berbicara sangat
keras, sering kali mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya anak seumuran
mereka mengucapkan hal itu, dan ketika orang-orang Jepang berusaha mengajak
mereka ngobrol dengan bahasa inggris dan indonesia seadanya, mereka justru
mencaci maki dan mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Seakan memanfaatkan
kebingungan dan ketidaktahuan orang-orang-orang Jepang itu yang cuma bisa nanya
“nani..? nani..?” yang artinya “apah..?apah..?”
Sampai
akhirnya beberapa hari kemudian setelah terbiasa mendengar kerusuhan-kerusuhan
yang sering ditimbulkan anak-anak kecil itu, saya mulai terbiasa dengan mereka.
Karena sebenarnya tujuan dari kegiatan-kegiatan workcamp saya adalah
mengembangkan kemampuan anak-anak kecil di daerah lokalisasi itu. Mereka yang
kurang dapat kasih sayang, pendidikan agama, dan moral dari orang tuanya
akhirnya menjadi anak-anak seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Sikap mereka
yang saya lihat, sebenarnya adalah cerminan keluarga dan lingkungan tempat
mereka tinggal. Sedih sebenernya ngelihat mereka harus tumbuh di tempat seperti
itu. Mengerti hal-hal yang anak seumuran mereka seharusnya belum mengetahui.
Dan ketika saya mulai bisa beradaptasi dengan mereka, bermain, dan bercanda,
saya mulai nemuin sisi manis dari mereka. Hohoho. Saya pribadi juga akhirnya
belajar mengatasi mereka yang brutal dan susah diberi nasihat. Ada satu anak
bernama Rizki yang hampir selalu menjadi biang kerok di setiap masalah yang
muncul. Umurnya 9 atau 10 tahun tapi masih kelas 3 SD karena nggak naik kelas.
Semua orang yang pernah mengenalnya setuju untuk menyebutnya monster. Haha.
Sadly dia jauh dari bapaknya yang beragama kristen. Padahal ibunya islam.
sedangkan kakak tirinya, beragama islam karena bapaknya juga islam. bingung
nggak? Jadi kakak beradik Eka-Rizki ini ibunya adalah sex workers dan mereka
berdua punya dua bapak yang berbeda agama. Jadi masing-masing anak ikut agama
bapaknya gitu. Dan mereka nggak tahu bapak mereka kerja dimana. Yang jelas
bapaknya memberi uang untuk sekolah. So far saya tahu itu aja. Lebih dalemnya
tentang keluarga mereka saya nggak tahu.
Jadi
si Rizki ini yang hobi teriak-teriak, narik-narik tangan orang biar
keinginannya dipenuhi dan memonyongkan bibirnya semaju-majunya waktu lagi marah
ini, malah akhirnya nempel sama saya. Kalo malem, dia suka dateng ke camp kita,
ngerjain peernya dan mewarnai buku-buku mewarnai anak SD. Dia suka dengerin
cerita-cerita saya, kalo ada apa-apa nyariin saya dan terakhir minta nomor hape
saya. Padahal setahu saya dia nggak ada hape. Kalo ketemu dia pasti dengan
riang gembira memanggil saya “MBAK NANAA...” tapi dengan huruf M yang sengaja
agak disamarkan. Jadi kedengerannya kayak ‘banana’ gitu. Ya, itu secuil cerita
sih tentang Husna yang berteman dengan ‘lil monster’ :D
Well it’s quite hard to find
her good picture. Entah dianya yang nggak suka foto atau emang nggak ada yang
suka nge foto dia. Hehe.
Berbagai
macam jenis workcamp banyak ditawarkan dengan berbagai jenis tujuan juga.
Fortunately saya ketemu sama workcamp satu ini. yang punya tujuan baik untuk
memberdayakan anak-anak yang harus tinggal di daerah lokalisasi. Saya melakukan
banyak kegiatan selama dua minggu. Mengunjungi SD negri dan madrasah di daerah
sana, mengajak anak-anak bermain games, membuat prakarya, pergi ke museum,
mengajari mereka menari, mempromosikan gaya hidup bersih dan sehat, dll.
Sembari bisa berbagi cerita budaya dengan orang-orang jepang dan menambah teman
dan koneksi. Itu bener-bener pengalaman berharga. Yang awalnya agak
underestimate dengan lingkungan tersebut pada akhirnya saya bisa mengubah sudut
pandang saya dan mencoba melakukan hal-hal yang bermanfaat. Terutama saya
senang banget sama kaos dari IIWC yang bertuliskan “Saya Relawan IIWC”. Dulu
waktu SMA dan pemikiran saya masih agak dangkal kali ya? Saya pengen banget
bisa masuk kedokteran biar bisa nyembuhin orang. Biar bisa ikut dalam tim
relawan yang berangkat menolong korban-korban bencana alam atau apapun itu.
Tapi ternyata nggak cuma dokter aja yang bisa jadi relawan. Semua orang bisa jadi
relawan dan dalam bentuk apapun itu. Nggak cuma masalah kesehatan, tapi juga
pendidikan, pemberdayaan, dsb. Dan dengan ikut kegiatan ini saya bisa sedikit
mewujudkan impian saya sekaligus menjalin hubungan pertemanan yang lebih luas.
Berkesan banget, thanks God for giving me this chance. you should try this too guys :D
Komentar
Posting Komentar