Menjadi Minoritas

Nggak ada orang yang mau jadi komunitas atau golongan minoritas di dunia ini. Apalagi menjadi minoritas yang tertindas dan terdiskriminasi. Saya beragama Islam dan tinggal di negara bernama Indonesia. Jelas, saya orang mayoritas dan saya bisa bersembahyang kapan saja dan dimana saja dengan mudah. Tapi saya juga pernah merasakan menjadi seorang minoritas. Seorang lho ya! Bukan golongan. Artinya hanya saya seorang diri saat itu. Allah, Tuhan saya secara sengaja menempatkan saya pada posisi itu. Dan akhirnya dengan pengalaman tersebut saya bisa belajar untuk memandang segala sesuatu lebih luas, lebih toleran terhadap orang lain, dan lebih mencintai agama saya tentunya.
Cerita berawal ketika saya mengikuti program pertukaran ke Jepang. Saya tidak sendirian. Saya berangkat bersama 60 peserta lainnya dari Indonesia. Artinya, saya masih punya banyak teman yang beragama Islam seperti saya yang berangkat ke Jepang juga. Ketika datang waktu sholat, kami bersama-sama mencari waktu dan tempat untuk bersembahyang. Walaupun sedikit susah dan ribet, tapi toh saya masih punya teman sehingga tidak terlalu terasa. Saya masih ingat jelas pesan mama saya tepat sebelum saya check in di bandara Internasional Soekarno-Hatta.

“Pesan mama satu, cuma satu. Jangan sampe ninggalin solat. Entah seberapa dinginnya nanti air disana, atau halangan apapun itu jangan males solat”

Di awal, memang masih mudah melakukan pesan itu. Saya juga cuma mengangguk dengan yakin waktu mama bilang begitu. Jadwal solat yang berbeda karena perbedaan cuaca dan tempat bisa diakali dengan melihat jadwal solat kota-kota tertentu di Jepang melalui internet yang bisa diakses dengan mudah. Semua muanya masih mudah sampai akhirnya...
Tiba waktunya untuk berpisah dengan teman-teman Indonesia. Saya bergabung dengan beberapa teman dari beberapa negara yang berbeda. Kelompok kami dinamakan Tokyo-Tama Chapter karena kami akan tinggal selama seminggu di Tokyo. Berpisah dengan teman-teman lain yang mendapat tempat lain seperti di Hokkaido, Kyoto, Osaka, atau tempat-tempat lain. Di kelompok itu, saya satu-satunya orang Indonesia, dan saya satu-satunya orang Islam. Lima dari mereka orang Kristen, dua Katolik, dua Hindu, satu Budha, dan satu lagi tidak beragama. Pandangan pertama ketika bertemu mereka, saya yakin bahwa enam diantara mereka yang berasal dari negara Asia pasti bisa toleran dan memahami agama saya. Tapi saya tidak begitu yakin dengan lima lainnya yang berasal dari benua Australia. Apalagi melihat satu bule laki-laki bernama Nelson Parker yang mukanya jutek, tua dan bicara bahasa inggrisnya cepat sekali, sampai membuat saya bingung. Haha belum-belum saya sudah underestimate dengannya.
Hari-hari di Tokyo pun saya jalani dengan perasaan campur aduk. Saya sedih karena nggak punya teman untuk solat bareng, saya juga sempat homesick sampai sesak rasanya. Tapi saya juga senang dengan teman-teman, keluarga dan lingkungan baru saya. Saya bisa mengenalkan Islam pada keluarga angkat saya di Tokyo. Saya berusaha memberitahu mereka bahwa saya harus beribadah lima kali sehari di waktu subuh, siang, sore, menjelang malam, dan malam hari. Itu artinya ada saat ketika saya menutup pintu kamar dan tidak menjawab ketika dipanggil. Mereka akan paham bahwa saya sedang melakukan ritual solat. Mereka sangat kaget pada awalnya. Karena mereka jarang sekali sembahyang ke kuil Budha dan tiba-tiba mengetahui ada orang yang sembahyang sesering itu :D
Selain tinggal di rumah keluarga angkat, saya juga mempunyai kegiatan-kegiatan di luar rumah bersama dengan teman chapter saya. Saya pergi mengunjungi sekolah-sekolah dan tempat wisata di Tokyo. Selama lima hari, saya pergi dari pagi sampai menjelang malam dengan teman-teman dan volunteer dari Jepang. Dan tentu saja, tak seorang pun dari mereka yang beragama Islam. hanya saya sendiri saat itu. Nggak akan ada yang ngingetin kalau sudah masuk waktu dzuhur atau ashar, apalagi maghrib. Harus saya sendiri yang rajin meng-update jadwal solat di Tokyo lewat internet. Ketika masuk waktu solat, saya akan meminta waktu dan tempat yang sepi untuk bersembahyang. Beberapa di antara mereka langsung mengerti keadaan saya dan dengan ramah dan baik hatinya menyiapkan dan mempersilahkan saya untuk solat. Tapi ada beberapa yang cuek dan tidak paham sama sekali dengan apa yang saya minta. Sungguh, menjadi minoritas itu tidak enak! Apalagi ketika orang di sekitarmu tidak memberikan toleransi. Saya menjadi paham, bagaimana rasanya orang-orang dengan agama minoritas di negara saya. Sejak saat itu saya berjanji saya akan menjadi orang yang lebih toleran ketika kembali ke Indonesia. Harapan saya, ketika suatu saat nanti saya diberi kesempatan lagi untuk menjelajah negeri orang dimana agama saya adalah agama minoritas, saya akan mendapat perlakuan yang baik dari orang di negara itu. Sama seperti halnya dengan apa yang akan berusaha saya lakukan terhadap orang minoritas di negeri saya. Semoga saja...
Oya, ada satu cerita unik yang datang dari bule pinggiran kota Sydney bernama Nelson Parker. Saya sempat mengira ia adalah bule yang bakal paling tidak toleran di antara bule-bule lainnya. Karena melihat wajahnya yang seperti ditekuk ke dalam dan rambut keriwil pirangnya. Mengingatkan saya pada tokoh-tokoh antagonis di film-film hollywood. Saya pun nggak berusaha untuk mendekati dia. Saya agak jaga jarak dengan dia. Tapi tanpa disangka-sangka, dihari kedua kami bersama-sama, dia mengajak ngobrol saya duluan.

“Kamu beragama Islam ya?”

“Iya” sambil senyum

“Pasti berat buat kamu menjalankan solat disini, di Jepang.”

Saya melongo sebentar, kemudian

“Eh, iya. Kok kamu tahu solat?”

“Saya belajar Islam di sekolah saya”

Saya tambah melongo dan cuma bisa bilang

“Oh..wow”

Kemudian di hari-hari berikutnya, saat kami sedang makan siang di sebuah restoran, kami sedang membicarakan masalah agamanya si Howard, orang Katolik. Terus iseng-iseng saya tanya,

“Emang apa bedanya sih Katolik sama Kristen?”

Si Nelson Parker dengan semangatnya menjawab

“Sebenarnya sama aja. Kami menyembah Tuhan yang sama. Tapi kita beda aliran. Sama halnya seperti Islam ada aliran Syiah, Sunni dan Wahabi. Begitu pula Kristen Protestan dan Kristen Katolik”

Walaupun saya nggak begitu paham dengan apa yang dimaksud, tapi wawasannya yang luas tentang Islam bikin persepsi saya ke dia berbalik 180 derajat, langsung! Ngeliat saya yang melongo lagi, Nelson langsung menambahi

“Kan saya udah bilang kalau saya belajar Islam di sekolah saya. Sekolah saya sekolah swasta Kristen tapi kami belajar tentang Islam.”

Saya nggak tahu dan nggak berani berspekulasi Islam seperti apa yang diajarkan di sekolahnya. Apakah hanya Islam secara garis besar, atau sampai mendalami Al-Quran, dan seperti apa pandangan mereka tentang Islam. yang pasti merasakan besarnya toleransi dan pemahaman Nelson tentang agama saya, membuat saya senang dan bersyukur masih ada orang di Tokyo ini, di sekitar saya ini, yang bisa memahami saya. Bahkan ia pernah mengingatkan saya untuk solat.
Dari sini saya berpikir bahwa menjadi orang yang toleran itu sangat perlu. Kadangkala kita merasa menjadi superior dan segala-galanya karena kita adalah golongan mayoritas disini. Kita tidak mau peduli apakah orang-orang diluar agama kita bisa bersembahyang dengan tenang atau tidak.
Tapi saya yakin apa yang saya alami di Tokyo bukan semata kebetulan. Allah sengaja menempatkan saya pada posisi itu agar saya bisa belajar. Belajar hidup dan belajar melihat dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini saya hanya melihat segala sesuatu berdasar sudut pandang orang Islam yang memang mayoritas di Indonesia. Tapi apa jadinya kalo saya berada di posisi yang sebaliknya, melihat dari sudut pandang minoritas? Apa yang akan ada di pikiran saya?
Karena hidup ini tidak akan selamanya berjalan sesuai kehendak kita. Jadi penting buat kita menciptakan dan menjaga perdamaian :)

Komentar

Postingan Populer